Selamat Datang

20 Maret 2012

'Balada Joni dan Susi', Manis Getir Kelas Menengah


Oleh: May Rahmadi


“Sebermula adalah pandang.” (John Berger, Ways of Seeing, 1972)
Di sebuah toko musik, seseorang menaruh kembali kepingan compact disc dari Melancholic B1tch album Balada Joni dan Susi. “Awalnya gua penasaran sama band itu,” kata Herry, seorang mahasiswa pencinta The Beatles, “tapi gua ragu sama cover-nya, gua gak jadi beli.”
Dalam era modern seperti ini, mata memang memiliki peran penting dalam konsumerisme. Para pemodal menyadari hal ini dengan menyerang kelas menengah melalui visualisasi persuasif berupa iklan pada televisi, baliho, majalah, dan lain-lain.
Balada Joni dan Susi, album kedua dari band asal Jogja, Melbi (sebutan untuk Melancholic B1tch) menyuguhkan sebuah album dengan konsep cerita pendek tentang dua orang dari kelas menengah. Lagu-lagu pada album ini memiliki cerita yang saling terkait. Sebuah konsep menarik dan cenderung baru dalam skema musik tanah air.
Di album ini, Joni dan Susi adalah dua orang dari kelas menengah. Menurut laman resmi Melbi (www.melancholicbitch.co.cc), sosok Joni dan Susi diambil dari dua buah berita kriminal yang berbeda. Sebanyak 12 lagu di album menyuguhkan suasana kelas menengah yang hiruk-pikuk memperjuangkan hidup untuk kemudian merayakannya. Vokalis sekaligus pencipta lirik, Ugoran Posad menggunakan simbol-simbol populer yang sangat dekat dengan kelas menengah, seperti supermarket, kota, televisi, dan roti.
Pada track pertama, dengan suara petikan keyboard yang pelan, intro menceritakan latar belakang Joni dan Susi, “Ketika Joni dua-satu dan Susi sembilan belas, hidup dengan bergegas di reruntuh ruang kelas.” Lagu Bulan Madu melanjutkan dengan kesan perayaan terhadap hidup ala kelas menengah yang kerap kali bermimpi bulan madu ke luar negeri.
Dalam menulis lirik, Ugo terasa menggunakan gaya ‘puisi suasana’. Pada lagu 7 Hari Menuju Semesta, dengan nada-nada melankolis, menggambarkan cinta, duka dan hasrat untuk menguasai dengan cukup epik, “Katakanlah jika aku Israel kau Palestina; jika aku Amerika, kau seluruh dunia; jika aku miskin kau negara; jika aku mati kau kematian lainnya.”
Kepedihan semacam itu juga tercermin pada lagu Menara dan Noktah Merah dalam Kerumunan.
Pada Distopia, Melbi menceritakan tentang keyakinan akan keabadian, “Bersama-sama kita, bersama selama-lamanya, bersama sama selamanya.” Sayangnya, lagu yang berdurasi hampir lima menit ini melakukan beberapa kali pengulangan lirik. Namun hal itu dapat ditutupi dengan bunyi-bunyi menarik, salah satunya dengan beat a la dangdut koplo.
Kondisi kelas menengah semakin tercermin pada lagu Mars Penyembah Berhala dan Akhirnya Masup TV. Dalam lagu Propaganda Dinding dan Apel Adam juga membawa pendengar ke suasana supermarket yang erat kaitannya dengan roti, apel, dan harga.
Di antara suasana hiruk-pikuk cinta, duka, dan mimpi, di album ini Melbi juga memberikan sebuah Nasihat yang Baik, “Susi ingin tidur, Susi lelah bermain seharian. Susi terlalu lelah jalan-jalan. Terlalu lelah, maka tidurlah. Sepotong musik untuk cemasmu; untuk resahmu; untuk sedihmu; untuk menunggu waktu yang lelah.” Sebuah nasihat yang baik untuk esok hari, untuk berusaha lebih keras mengejar mimpi.
Sesudah bunyi-bunyi meriah di lagu-lagu sebelumnya, outro menutup album ini dengan nada-nada pelan sambil menyebut, “Namaku Joni, namaku Susi,” secara berulang.
Album ini perlu didengar, sebab Balada Joni dan Susi seperti menjadi batu lompatan Melbi setelah album pertamanya Anamnesis (2004) tidak terlalu menjadi perhatian. (E-1)