Di sebuah toko musik, seseorang menaruh kembali kepingan compact disc dari Melancholic B1tch
album Balada Joni dan Susi. “Awalnya gua
penasaran sama band itu,” kata Herry, seorang mahasiswa pencinta The Beatles,
“tapi gua ragu sama cover-nya, gua gak jadi beli.”
Dalam era modern seperti ini, mata memang memiliki peran
penting dalam konsumerisme. Para pemodal menyadari hal ini dengan menyerang kelas
menengah melalui visualisasi persuasif berupa iklan pada televisi, baliho,
majalah, dan lain-lain.
Balada Joni dan Susi, album kedua dari band asal Jogja,
Melbi (sebutan untuk Melancholic B1tch) menyuguhkan sebuah album dengan konsep
cerita pendek tentang dua orang dari kelas menengah. Lagu-lagu pada album ini
memiliki cerita yang saling terkait. Sebuah konsep menarik dan cenderung baru
dalam skema musik tanah air.
Di album ini, Joni dan Susi adalah dua orang dari kelas
menengah. Menurut laman resmi Melbi (www.melancholicbitch.co.cc),
sosok Joni dan Susi diambil dari dua buah berita kriminal yang berbeda.
Sebanyak 12 lagu di album menyuguhkan suasana kelas menengah yang hiruk-pikuk
memperjuangkan hidup untuk kemudian merayakannya. Vokalis sekaligus pencipta
lirik, Ugoran Posad menggunakan simbol-simbol populer yang sangat dekat dengan
kelas menengah, seperti supermarket, kota, televisi, dan roti.
Pada track pertama,
dengan suara petikan keyboard yang pelan, intro menceritakan latar belakang Joni
dan Susi, “Ketika Joni dua-satu dan Susi sembilan belas, hidup dengan bergegas
di reruntuh ruang kelas.” Lagu Bulan Madu
melanjutkan dengan kesan perayaan terhadap hidup ala kelas menengah yang kerap
kali bermimpi bulan madu ke luar negeri.
Dalam menulis lirik, Ugo terasa menggunakan gaya ‘puisi
suasana’. Pada lagu 7 Hari Menuju Semesta,
dengan nada-nada melankolis, menggambarkan
cinta, duka dan hasrat untuk menguasai dengan cukup epik, “Katakanlah jika aku
Israel kau Palestina; jika aku Amerika, kau seluruh dunia; jika aku miskin kau
negara; jika aku mati kau kematian lainnya.”
Kepedihan semacam itu juga tercermin pada lagu Menara dan Noktah Merah dalam Kerumunan.
Pada Distopia, Melbi
menceritakan tentang keyakinan akan keabadian, “Bersama-sama kita, bersama selama-lamanya, bersama sama selamanya.” Sayangnya,
lagu yang berdurasi hampir lima menit ini melakukan beberapa kali pengulangan
lirik. Namun hal itu dapat ditutupi dengan bunyi-bunyi menarik, salah satunya
dengan beat a la dangdut koplo.
Kondisi kelas menengah semakin tercermin pada lagu Mars Penyembah Berhala dan Akhirnya Masup TV. Dalam lagu Propaganda Dinding dan Apel Adam juga membawa pendengar ke
suasana supermarket yang erat kaitannya dengan roti, apel, dan harga.
Di antara suasana hiruk-pikuk cinta, duka, dan mimpi, di
album ini Melbi juga memberikan sebuah Nasihat
yang Baik, “Susi ingin tidur, Susi lelah bermain seharian. Susi terlalu
lelah jalan-jalan. Terlalu lelah, maka tidurlah. Sepotong musik untuk cemasmu;
untuk resahmu; untuk sedihmu; untuk menunggu waktu yang lelah.” Sebuah nasihat
yang baik untuk esok hari, untuk berusaha lebih keras mengejar mimpi.
Sesudah bunyi-bunyi meriah di lagu-lagu sebelumnya, outro menutup album ini dengan
nada-nada pelan sambil menyebut, “Namaku Joni, namaku Susi,” secara berulang.
Album ini perlu didengar, sebab Balada Joni dan
Susi seperti menjadi batu lompatan Melbi setelah album pertamanya Anamnesis (2004) tidak terlalu menjadi
perhatian. (E-1)