Selamat Datang

6 Maret 2008

Catatan Kelam itu Ikut Pergi Bersama sang Jenderal

BUNYI sirene mobil jenazah semakin jelas terdengar ketika arak-arakan pengantar jenazah mantan Presiden Kedua RI, Soeharto, memasuki Bandara Halim Perdana Kusumah, Senin (28/1).
Sejumlah anggota masyarakat tampak berdiri di sepanjang bahu jalan, seolah ingin menyampaikan penghormatan terakhir bagi mantan penguasa Orde Baru.
Letusan rasa haru tidak terbendung ketika mobil jenazah yang membawa jasad Sang Jenderal melintas. Sebagian dari mereka tampak terdiam. Tidak lama, air mata berjatuhan.
'Selamat jalan, Pak Harto. Selamat jalan.' Demikian bunyi beberapa spanduk yang mereka bawa, seolah ingin dibaca sang Jenderal Besar.
Di sudut lain jalan menuju bandara, beberapa pelajar juga terlihat menunggu iring-iringan itu dengan setia. Mereka mengangkat telapak tangan kanan mereka ke dahi, memasang sikap hormat ala prajurit ke arah iring-iringan.
Wafatnya Soeharto, pada Minggu (27/1), memang menyisakan catatan tersendiri yang patut dikenang bangsa Indonesia. Perintah untuk menaikkan bendera Merah Putih setengah tiang serta pernyataan resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk berkabung selama tujuh hari membuktikan bahwa bangsa ini memang masih menaruh simpati kepada penguasa rezim Orde Baru itu.
Meski ada sederet catatan hitam memenuhi portofolio Soeharto sepanjang 32 tahun masa kepemimpinannya, saat ia pergi, bangsa ini kehilangan.
Soeharto memang dikenal sebagai sosok presiden yang memiliki gaya kepemimpinan otoriter dan bertangan besi. Ia tidak segan-segan menunjukkan kekuasaannya sebagai orang nomor satu di Indonesia kepada penentang, rival politik, atau orang yang ingin 'menggoyang-goyang' kebijakannya.
Lihat saja, bagaimana peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974) meletus. Aksi mahasiswa yang ketika itu menentang 'penjajahan ekonomi' Jepang atas Indonesia berakhir menjadi tragedi yang menelan korban 11 orang meninggal dan 300 orang luka-luka.
Tentunya, banyak keluarga korban yang kehilangan dan terluka hatinya ketika itu. Demikian pula, ketika peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984 terjadi. Peristiwa itu bermula dari diadakannya tablig akbar di Jalan Sindang oleh Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat setempat, yang dalam ceramahnya menuntut aparat keamanan untuk membebaskan empat orang jemaah Mushola As Sa'adah yang ditahan (Tempo Interaktif, 17 Juni 2004).
Situasi tersebut berkembang begitu cepat sampai terjadi penembakan yang menimbulkan korban sebanyak 79 orang, dengan rincian 24 meninggal dan 55 luka-luka.
Belum lagi pada tragedi Trisakti dan Semanggi I yang meletus pada akhir kepemimpinannya. Betapa banyak orang yang kehilangan orang yang dicintai, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Namun The Smiling General sudah tiada. Catatan itu pun seolah terbawa pergi bersamanya. Kasus-kasus pidana yang menyangkut dirinya pun secara hukum gugur. Tinggal bagaimana kasus perdata yang hingga sekarang belum terselesaikan.
Apakah kasus-kasus itu nantinya akan diwariskan kepada keluarga mantan penguasa Orde Baru tersebut,Walahualam.

Pemimpin ideal
Tapi, sebagai pemimpin bangsa sekaligus jenderal besar, Soeharto memang dikenal sebagai figur yang mudah tersenyum dan tidak pernah menampakkan rasa kekesalan dalam bentuk emosi. Namun siapa sangka di balik keramahannya, Soeharto ternyata handal merancang suatu pemerintahan yang melanggengkannya selama 32 tahun.
Wakil Ketua DPR AM Fatwa menilai, "Sistem pemerintahan Soeharto memang sengaja didisain untuk mengemas pemerintahan dalam sistem yang otoriter."
Itu terlihat dari bagaimana ia melakukan pengerdilan demokrasi dalam bentuk perampingan partai politik (parpol). Sistem multipartai yang sebelumnya dianut RI dipangkas hanya menjadi dua partai, ditambah satu golongan, yakni Golongan Karya. Itu secara nyata merupakan pengebirian terhadap alam demokrasi bangsa ini. Rakyat jadi tidak memiliki pilihan, ditambah pendidikan politik yang tidak berlandaskan kebebasan berpikir sehingga bangsa ini menjadi apatis, dan tidak berusaha berpikir kritis.
Tidak berlebihan bila AM Fatwa mengatakan, "Sistem demokrasi yang dibentuk Soeharto terkesan bohong-bohongan."
Namun, sebagai bangsa yang arif dan bijaksana, masyarakat memang sudah sepatutnya melihat beberapa catatan positif yang diukir mantan Presiden Soeharto.
Misalnya bagaimana ia berhasil menghadapi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Negara Islam Indonesia, yang ketika itu merongrong kedaulatan serta keutuhan bangsa karena tidak sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Kini, di luar pro dan kontra mengenai dirinya, ketika melihat bagaimana isak tangis, dan kesetiaan sebagian anggota masyarakat yang ditunjukkan dengan berbondong-bondong ikut mengantarkan jasadnya sebelum ke tempat peristirahatan terakhir, kita jadi bertanya, apakah memang sosoknya adalah yang paling diterima sebagai pemimpin di negeri ini?
Walaupun di masa pemerintahannya berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia terjadi, pengebirian hak politik rakyat dilakukan, apakah memang seharusnya demikian idealnya memimpin negeri ini?
Sebab seperti dipaparkan Wakil Presiden Mahasiswa Trisakti Angga Kurnia Imban, Soeharto bagi dirinya seorang jenderal besar. Yang dalam masa kepemimpinannya berperan besar dalam bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Bahkan, di bidang politik, kebijakan membuat dua parpol dinilai mahasiswa tersebut melahirkan stabilitas dalam negeri.
"Di bidang politik, kebijakan dua parpol menimbulkan stabilitas yang baik di dalam negeri. Selain itu, peran Soeharto pada swasembada pangan di Indonesia cukup besar," papar Angga.
Namun memang penting menjadi catatan bahwa pendekatan militeristik yang dilakukan pemerintah pada masa Orde Baru perlu diminimalisasi pada masa mendatang.
Seperti diungkapkan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat Anas Urbaningrum, pendekatan militeristik pada era Orde Baru harus dijadikan tolak ukur dalam menentukan pemimpin bagi Indonesia di masa mendatang.
Menurutnya, kasus-kasus yang terjadi di masa Soeharto harus menjadi hikmah dan pelajaran bagi pemimpin bangsa baik di tingkat nasional maupun daerah. "Yang terbaik adalah pemimpin yang bekerja atas dasar sistem yang baku dan kokoh," ujarnya.
Anas juga menambahkan bahwa seorang pemimpin bukan menjadikan dirinya sebagai hukum dan kekuasaan yang melebur pada pribadinya.
Tanggapan tentang hal ini juga datang dari AM Fatwa. Menurutnya, seorang pemimpin yang tepat untuk saat ini adalah orang yang mampu menjalankan roda reformasi. Ia juga menambahkan bahwa di masa mendatang, pemimpin harus mampu menyejahterakan rakyat dari berbagai bidang.
"Ia harus menjalankan ekonomi, mengurangi kemiskinan dan mampu memberikan pendidikan yang layak bagi masyarakat, " paparnya.
Di bidang pendidikan, AM Fatwa juga menambahkan bahwa pemimpin Indonesia ke depan harus mampu mewujudkan anggaran 20% bagi pendidikan.
Hal senada juga disampaikan Hariman Siregar, "Idealnya pemimpin itu harus satu kata dengan perbuatannya."
"Harus bijak terhadap rakyat, tidak seperti pemerintah yang saat ini terkesan ragu-ragu," tambah Presiden Mahasiswa Trisakti, Angga Kurnia.Tim Rostrum IISIP Jakarta/T-1

Tidak ada komentar: