Selamat Datang

6 Maret 2008

Imbas Pemberitaan Massal

Banyak hal yang bisa diteliti dan dipelajari dari berita seputar wafatnya mantan penguasa rezim Orde Baru Soeharto membuat hampir seluruh media massa di Indonesia terfokus pada peristiwa itu, bahkan sampai menggeser jadwal acara di sejumlah stasiun televisi, termasuk acara prime time.
Memang semua pemberitaan itu hampir seragam karena demikianlah faktanya. Baik media cetak maupun elektronik, semua media memosisikan Soeharto sebagai sosok yang paling berpengaruh dalam 32 tahun era kekuasaan Orde Baru.
Tapi, ada juga yang spesial, misalnya dengan menyebut nama Soeharto dengan 'Pak Harto' ataupun 'HM Soeharto'. Padahal, saat ini belum pernah kita mendengar istilah 'Pak Yudhoyono' atau 'Pak Kalla' untuk menyebut presiden dan wakil presiden kita.
Sedikit banyak, hal itu mengindikasikan munculnya kembali semangat Orde Baru sepeninggalan Soeharto. Kekhawatiran lainnya adalah para elite pers dan politik nasional masih saja berada di bawah bayang-bayang Soeharto.
Tak ayal, Bapak Pembangunan itu banyak mendapat puja dan puji dari seluruh lapisan masyarakat. Lalu bagai mana dengan media massa? Banyak kalangan menilai pemberitaan tentang wafatnya mantan orang nomor satu di Indonesia itu terlalu berlebihan karena dianggap tidak berimbang dan tidak objektif. Pasalnya, media hanya memandang dari kacamata kepentingan media itu sendiri meskipun beberapa kali tampak ada upaya untuk memberitakan secara berimbang dan objektif.
Namun nyatanya, media massa khususnya televisi, lebih tertarik untuk mengubur dosa-dosa 'The Smiling General' dan jasa-jasa semasa hidupnya.
Konglomerasi media massa di Indonesia telah mengantarkan masyarakat kita melupakan tragedi selama 32 tahun kekuasaan Soeharto. Berita-berita media massa, khususnya televisi, yang ada saat ini hanya bertujuan membangun kembali pencitraan positif keluarga Cendana dan cenderung mengesampingkan kasus hukum Soeharto. Itu berarti, reformasi 10 tahun yang bertujuan menegakkan hukum telah diubah arahnya oleh media massa dalam liputan-liputan mereka. Tentu itu bukan pelajaran yang baik bagi masyarakat Indonesia.
Imbas dari pemberitaan massal itu setidaknya mengubah opini publik tentang sosok Soeharto yang sebenarnya. Sesaat, masyarakat pun larut dalam simpati dan empati yang berlebih. Hal itu dapat kita lihat ketika iring-iringan rombongan pengantar jenazah disambut isak tangis masyarakat yang mengaku sejahtera kala Soeharto masih berkuasa.
Ironi memang. Ketika rakyat kita masih merindukan kejayaan masa lalu, ternyata media turut mengungkitnya tanpa memberitakan secara berimbang, dampak 32 tahun kepemimpinan Soeharto.
Sejatinya, media massa kita adalah barometer yang paling berpengaruh di masyarakat yang dapat memberitakan segala sesuatunya dengan proporsional agar tidak terjadi erosi fakta yang dapat mengaburkan tujuan dan cita-cita reformasi bangsa ini.
Apalagi, dengan pemberitaan secara berlebihan, publik bisa juga dirugikan karena mereka tidak dapat menikmati informasi reguler lainnya. Masyarakat jadi bertanya, mengapa wafatnya Soeharto begitu disorot? Begitu pentingkah nilai beritanya? Ada apa dengan media?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, satu waktu bisa jadi terakumulasi menjadi sebuah opini publik baru, misalnya meskipun mantan presiden kedua itu telah wafat, ia meninggalkan warisan bagi bangsa ini, yaitu Orde Baru berkulit reformasi.(Andreanto/T-1)

Tidak ada komentar: