Selamat Datang

6 Maret 2008

Hitam Putih Pak Harto

PAK HARTO, Bapak Orde Baru (Orba), orde keemasan bangsa Indonesia, yang sekaligus merupakan masa kelam praktik demokrasi Indonesia.
Dengan kepemimpinannya yang bisa dibilang serbaotoriter, banyak aktivis dan rival politik Pak Harto, lebih memilih 'jalur aman' daripada menjalankan aktivitas politik.
Kenyataan seperti itu, antara lain, menyebabkan Pak Harto langgeng selama 32 tahun sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Sebagai orang yang berangkat dari militer, memang tampak kekuatan nyata Pak Harto ada pada militer. Sebut saja kasus Malari pada era 1970-an, Tanjung Priok, Trisakti, Semanggi I, hingga Semanggi II, sang Jenderal besar banyak menggunakan kekuatan militer, untuk 'menghalau' para mahasiswa yang ada di baris terdepan saat mendobrak Orde Baru.
Padahal, dalam sejarah perjuangan Indonesia, gerakan mahasiswa sering kali menjadi tonggak perjuangan. Seperti halnya Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998. Gerakan mahasiswa yang pada saat itu menuntut Pak Harto turun dari jabatannya ternyata membawa korban tewas empat mahasiswa yang berkampus di sekitar Grogol tersebut.
Tapi kali ini, penembakan tersebut tidak berhasil membungkam mahasiswa. Mereka justru bersatu, bergerak menuju Gedung MPR/DPR, menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab. Tidak terhitung, berapa jumlah mahasiswa yang terluka dalam perjuangannya menduduki Gedung MPR/DPR. Akan tetapi, peristiwa berdarah tersebut dicatat sebagai cikal bakal lahirnya kebebasan demokrasi untuk mengeluarkan pendapat setelah sekian lama terbelenggu.
Gerakan tersebut tercatat sebagai awal lahirnya reformasi yang mengantarkan banyak tokoh menuju kedudukan nomor satu di negeri ini.
Kini, sang Smiling General telah pergi. Semua tertunduk dan kembali membuka catatan, kenapa kita menangis saat ia menghadap sang Khalik?
Pak Harto memang kontroversial. Di antara sekian banyak catatan yang membuat geram aktivis, khususnya dari golongan muda, ia tetap merupakan sosok yang paling bertanggung jawab dalam menyelamatkan Pancasila dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang diembannya, Pak Harto berhasil menghalau paham komunis dan upaya pembentukan Negara Islam Indonesia (NII) yang ketika itu mengancam NKRI.
Acungan jempol datang dari mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahatir Muhammad, yang menilai kemampuan diplomatik Soeharto juga patut diacungi jempol, terbukti dengan kesuksesannya mengakhiri konfrontasi antara Indonesia dan negara tersebut.
Di bidang perekonomian, pertumbuhan ekonomi RI di bawah kepemimpinannya juga mengundang decak kagum negara tetangga. Pak Harto bahkan sempat mengantarkan Indonesia menjadi negara yang disebut sebagai 'Macan Asia'.
Di tingkat regional, khususnya di Asia Tenggara, Pak Harto lebih fokus menggalang kerja sama perekonomian daripada membangun politik mercu suar.
Sepak terjang Pak Harto dalam 32 tahun kepemimpinannya memang bisa dikatakan ideal untuk bangsa yang ingin tinggal landas. Tidak berlebihan jika ia dijuluki sebagai Bapak Pembangunan yang berhasil memajukan negara Indonesia dalam bidang pertanian dan perikanan melalui program kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa (kelompencapir) sehingga Indonesia menjadi negara agraris dan penghasil beras terbanyak di Asia Tenggara pada saat itu.
Dualisme sisi kepemimpinan itulah yang masih menjadi polemik bagi bangsa Indonesia. Satu sisi bangsa ini masih butuh seorang figur yang mampu memimpin negeri ini secara tegas. Tapi ketegasan yang jangan disalahartikan, bahkan disalahpraktikkan sebagai kemampuan memaksa yang ujung-ujungnya bersifat otoriter.(T-1)
Oleh: Irfan Maullana, Mahasiswa Komunikasi IISIP, Jakarta

Tidak ada komentar: