Oleh : Fitri Handayani
EPICENTRUM -- Sebagian
orang mungkin akan sulit membedakan orang normal dengan orang yang memiliki
kepribadian ganda. Karena memang tidak ada hal yang signifikan diantara
keduanya. Namun hanya saja pada seseorang yang memiliki kepribadian ganda, ia
akan merasa memiliki banyak identitas yang memiliki cara berpikir, temperamen,
tata bahasa, ingatan dan interaksi terhadap lingkungan yang berbeda-beda.
Walaupun penyebabnya tidak bisa dipastikan, namun rata-rata para psikolog
sepakat kalau penyebab kelainan ini pada umumnya adalah karena trauma masa
kecil.Sebelum abad ke-20, gejala ini dikaitkan dengan kerasukan setan. Namun, para psikolog abad ke-20 yang menolak kaitan itu, kemudian menyebut fenomena ini dengan sebutan Multiple Personality Disorder (MPD). Berikutnya, ketika nama itu dirasa tidak lagi sesuai, gejala ini diberi nama baru yaitu dengan Dissociative Identity Disorder (DID).
Menurut American
Textbooks, Dissosiative Identity Disorder adalah suatu mekanisme pertahanan
diri oleh seseorang dengan cara memisahkan diri. Salah satu bentuk kronis dari
gejala tersebut adalah berpisahnya kepribadian seseorang menjadi beberapa
kepribadian yang berbeda. Hal tersebut didorong oleh ketidakmampuan, penolakan
dan sebagai pertahanan diri oleh otak terhadap masalah yang diterima dalam
tingkat stres yang tinggi.
Faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya DID ini karena beberapa faktor yaitu, pertama, faktor
biologis. Faktor ini didasari oleh ciri-ciri keturunan seperti ketegangan dan
responsivitas terhadap stres akan mungkin meningkatkan kerentanan. Kedua,
faktor psikososial ini terjadi karena pada masa kanak-kanak mereka mengalami
penganiayaan berat sering kali tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Kurang atau tidak adanya
dukungan sosial juga berpengaruh. Sebuah studi terhadap 428 remaja kembar
menunjukkan bahwa 33% sampai 50% varians dalam pengalaman disosiatif dapat
diartibusikan pada keluarga yang penuh perselisihan dan tidak saling mendukung.
Varians sisanya berhubungan dengan faktor-faktor kepribadian. Ketiga, faktor
spiritual. Faktor ini mengartikan bahwa setiap manusia baik itu penderita DID
akan mengalami setiap masalah atau musibah. Misalnya cobaan berupa siksaan di
masa kecilnya.
Menurut DSM IV-TR
disebutkan bahwa terdapat fluktuasi usia penderita dalam penelitian psikiatri.
Sehingga sangat dimungkinkan penelitian terkini akan menghasilkan angka yang
berbeda. Namun, sampai tahun 2000, angka usia rata-rata munculnya gejala
pertama DID adalah 6 sampai 7 tahun. Gangguan ini mungkin akan berkurang
intesitasnya pada usia 40an, tetapi bisa muncul kembali selama trauma atau
mengalami penganiayaan.
Dari penelitian lain yang
telah dilakukan sebelumnya, didapatkan data bahwa dari seluruh sampel diketahui
bahwa 90 hingga 100% individu dengan gangguan ini adalah perempuan, namun
peneliti memilki keyakinan bahwa laki-laki yang mengalami gangguan ini tidak
terdeteksi atau tidak dilaporkan karena kebanyakan laki-laki dengan gangguan
ini dimasukkan ke dalam penjara bukan rumah sakit.
Di satu sisi, para
peneliti yakin bahwa Dissosiative Identity Disorder ini sangatlah sedikit,
sedangkan di sisi lain para peneliti yakin bahwa gangguan ini belum terdeteksi
secara mendalam, sehingga mungkin saja populasi individu sebenarnya cukup
besar. Berdasarkan suatu penelitian, berhasil diketahui bahwa 0,5% - 2% pasien
gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit jiwa mengalami gangguan ini dan 5%
dari seluruh pasien jiwa (baik yang dirawat maupun tidak) mengalami DID.
Ganguan ini tidak hilang
dengan sendirinya. Butuh proses panjang untuk menyatukan kembali berbagai
kepribadian kedalam kepribadian tunggal. Meskipun begitu, penggabungan tidak
selalu bisa berhasil. Tujuan ini dimaksudkan untuk mencapai interaksi harmonis
antara kepribadian-kepribadin agar berfungsi lebih normal.
Berbagai bentuk terapi di
kemukakan oleh para psikiate.diantaranya adalah petama, terapi obat bisa
meringankan beberapa gejala-gejala coexisting khusus, seperti gelisah atau
depresi, tetapi tidak mempengaruhi gangguan itu sendiri.
Kedua psikoterapi. Terapi
ini memang agak sulit dan sangat menyakitkan secara emosional. Karena orang
tersebut mengalami emosional yang tinggi saat ingatan traumanya teringat
kembali selama terapi. Biasanya diperlukan dua sampai satu minggu sesi
psikoterapi yang dilakukan dan ini butuh waktu tiga sampai enam tahun.
Ketiga terapi
psikoanalisis. Terapi ini lebih banyak dipilih. Karena tujuannya untuk
mengangkat represi menjadi hukum sehari-hari dan dicapai melalui penggunaan
berbagai teknik psikoanalitik dasar. Terapi ini menggunakan cara hipnotis.
Keempat terapi
restrukturisasi kognitif. Menurut Nijenhuis bahwa prosedur ini bertujuan untuk
membalikkan keadaan dan terapi ini efektif untuk mengubah perpindahan identitas
penderita secara bertahap. Namun terapi ini hanya dapat dilakukan setelah
menemukan kepribadian yang dimilki si penderita. Sebab, penderitanya tidak
pernah menyadari kalau ia memiliki banyak kepribadian yang mungkin muncul.
Kelima DID terintegrasi. Terapi ini menggunakan pendekatan kompreherensif
dengan Sembilan tahapan, yaitu:
- Tahap Psikoterapi
- Intervensi Preliminary (mendiagnosis kepribadian)
- Pengumpulan informasi detail mengenai latar belakang masalah penderita
- Menganalis trauma yang dialami klien
- Analisis resolusi
- Integrasi resolusi
- Mempelajari alternatif kemampuan menghadapi masalah
- Tindak lanjut terapi
- Follow up
Seseorang yang memiliki kepribadian ganda, pastinya memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri-cirinya adalah pertama, ada dua atau lebih identitas atau kesadaran yang berbeda di dalam diri orang tersebut. Kedua, kepribadian ini secara berulang mengambil alih perilaku orang tersebut (Switching). Ketiga, adanya ketidakmampuan untuk mengingat informasi penting yang berkenaan dengan dirinya yang terlalu luar biasa dan dianggap hanya sebagai lupa biasa. Keempat, gangguan-gangguan ini tidak terjadi karena efek psikologis dari substansi seperti alkohol atau obat-obatan atau karena kondisi medis seperti demam. (FAN/FIT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar