Oleh: Sherly Surya Pratiwi
“Barang siapa baik karyawan maupun masyarakat sekitar yang mampu menangkap orangutan
baik dalam keadaan hidup maupun mati, diberikan imbalan berupa uang mulai Rp 500
ribu hingga Rp 2 juta. Imbalan disesuaikan dengan besar kecilnya tangkapan.“
EPICENTRUM -- Sayembara terbuka di atas yang dikeluarkan perusahaan kelapa
sawit setempat merupakan awal proses pembantaian orangutan yang terjadi di area
perkebunan kelapasawit Kalimantan.
Orangutan adalah salah satu jenis satwa liar paling dilindungi hukum
Indonesia dan mendapatkan simpatik yang luas dari masyarakat dunia. Ironisnya, puluhan orangutan (Pongopygmaeus)
terancam keberadaannya.
Warga desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Ancalog, Kutai Kartanegara
membantai populasi orangutan, berdalih hewan itu sebagai hama yang merusak dan menggagalkan panen kelapa sawit. Area perkebunan yang bersebelahan
dengan area Kawasan Budidaya Kehutanan
(KBK) dimana di dalamnya terdapat habitat orangutan.
Tentu membuat kehidupan
mereka terusik. Orangutan-orangutan berhamburan keluar dari tempat tinggal mereka.
Mungkin kesal karena kehidupan mereka terusik dengan aktivitas pekebunan sawit itu,
orangutan pun merusak sejumlah sawit yang sedang tumbuh. Dari situlah
awalnya, perusahaan kemudian memutuskan bahwa orangutan adalah hama yang wajib dibasmi atau dibunuh.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA Kaltim) dan Centre for Orangutan
Protection (COP) mengevakuasi sedikitnya empat orangutan dari Muara Kaman
di sekitaran PT Khaleda, anak perusahaan Metro Kajang Holdings Berhad Malaysia
dan PT Anugerah Urea Sakti. Pada juli 2011 mengevakuasi dua orangutan di Kecamatan
MuaraWahau, Kutai Timur, dan Agustus lalu
COP menemukan empat tengkorak orangutan di areal Wilmar Group.
Selain menggunakan anjing untuk membunuh
orangutan, oknum pembantai juga menggunakan racun pembunuh Furadan yang dimasukkan dalam pisang yang disebar. Bahkan pembantaian
kerap kali dilakukan tidak tanggung-tanggung, yaitu menggunakan buldoser.
Pusat rehabilitasi telah penuh dan
hutan untuk pelepas liaran semakin sulit karena hutan terus dibabat. Upaya rehabilitasi
yang mahal, 3500 USD per tahun untuk setiap orangutan, menjadi semakin mahal karena
Kementrian Kehutanan tidak memiliki minat pada perlindungan orangutan.
Organisasi konservasi harus membayar
untuk hutan yang digunakan sebagai kawasan pelepas liaran. Kawasan pelapas liaran
di MuaraWahau Kalimantan Timur terus dirongrong pemburu liar. (OKA/FAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar