Selamat Datang

7 Oktober 2011

‘Sayembara’ Pembantaian Orangutan

Oleh: Sherly Surya Pratiwi



Barang siapa baik karyawan maupun masyarakat sekitar yang mampu menangkap orangutan baik dalam keadaan hidup maupun mati, diberikan imbalan berupa uang mulai Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta. Imbalan disesuaikan dengan besar kecilnya tangkapan.


EPICENTRUM -- Sayembara terbuka di atas yang dikeluarkan perusahaan kelapa sawit setempat merupakan awal proses pembantaian orangutan yang terjadi di area perkebunan kelapasawit Kalimantan.

Orangutan adalah salah satu jenis satwa liar paling dilindungi hukum Indonesia dan mendapatkan simpatik yang luas dari masyarakat dunia. Ironisnya, puluhan orangutan (Pongopygmaeus) terancam keberadaannya.

Warga desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Ancalog, Kutai Kartanegara membantai populasi orangutan, berdalih hewan itu sebagai hama  yang merusak dan menggagalkan panen kelapa sawit. Area perkebunan yang bersebelahan dengan area Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) dimana di dalamnya terdapat habitat orangutan. 

Tentu membuat kehidupan mereka terusik. Orangutan-orangutan berhamburan keluar dari tempat tinggal mereka. Mungkin kesal karena kehidupan mereka terusik dengan aktivitas pekebunan sawit itu, orangutan pun merusak sejumlah sawit yang sedang tumbuh. Dari situlah awalnya, perusahaan kemudian memutuskan bahwa orangutan adalah hama yang wajib dibasmi atau dibunuh.


Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA Kaltim) dan Centre for Orangutan Protection (COP) mengevakuasi sedikitnya empat orangutan dari Muara Kaman di sekitaran PT Khaleda, anak perusahaan Metro Kajang Holdings Berhad Malaysia dan PT Anugerah Urea Sakti. Pada juli 2011 mengevakuasi dua orangutan di Kecamatan MuaraWahau, Kutai Timur, dan Agustus lalu  COP menemukan empat tengkorak orangutan di areal Wilmar Group.


Selain menggunakan anjing untuk membunuh orangutan, oknum pembantai juga menggunakan racun pembunuh Furadan yang dimasukkan dalam pisang yang disebar. Bahkan pembantaian kerap kali dilakukan tidak tanggung-tanggung, yaitu menggunakan buldoser.


Pusat rehabilitasi telah penuh dan hutan untuk pelepas liaran semakin sulit karena hutan terus dibabat. Upaya rehabilitasi yang mahal, 3500 USD per tahun untuk setiap orangutan, menjadi semakin mahal karena Kementrian Kehutanan tidak memiliki minat pada perlindungan orangutan.


Organisasi konservasi harus membayar untuk hutan yang digunakan sebagai kawasan pelepas liaran. Kawasan pelapas liaran di MuaraWahau Kalimantan Timur terus dirongrong pemburu liar. (OKA/FAN)

Tidak ada komentar: