Cerpen Teuku Dadek

Sejak itu, Nina berkelana dari satu kota ke lain kota
dengan satu suami untuk satu kota yang berakhir dengan kematian.
Wajah yang cantik terkubur oleh kesedihan dan
kenestapaan saat melepas jasad suami ketujuhnya ke pemberangkatan
terakhir. Di tengah handai tauladan, Nina mendekap erat putri
satu-satunya dari perkawinan suami pertama. Buah hati pelipur lara,
tujuh kesedihan sudah ia lewati, tujuh orang suami yang hanya memberikan
satu orang anak bagi Nina, semuanya mati mendahului dalam ikatan
perkawinan dengan dirinya.
Perasaan malu dan was-was terus
melanda. Apakah Tuhan telah menakdirkan dirinya dengan nasib yang begitu
malang, teman hidupnya harus mati dalam ikatan nikah dengannya. Tujuh
perkawinan dengan tujuh kematian bagaikan badai, terkadang ada keinginan
untuk menghabisi dirinya, ada keinginan untuk tetap menjanda agar
lelaki yang menjadi suaminya tidak mati dalam rumah perkawinannya.
Namun
ia wanita yang lemah, tak punya kepandaian, hidup harus menopang dengan
orang lain, suami adalah kebutuhan ekonominya, namun terkadang ia juga
sadar banyak lelaki yang tertarik kepada kecantikannya, berkali-kali
pula Nina sudah menyatakan bahwa ia telah kawin enam kali dan semuanya
meninggal dalam ikatan rumah tangganya, namun Mustafa yang sudah kadung
gila dimabuk cinta dan kasmaran berat tetap ngotot ingin menikahnya.
“Saya juga ingin memelihara anak yatim,”ujar Mustafa saat melamar Nina.
Mustafa
dengan yakin dan percaya mengatakan kepada Nina bahwa kematian keenam
suaminya adalah kebetulan saja, karena takdir sudah memperlakukan
suami-suaminya harus menemui ajal dalam ikatan perkawinan dirinya.
Tidak
banyak tetangga yang tahu, Mustafa adalah suami ketujuh Nina dan suami
ketujuh pula meninggalkannya dan Mustafa sudah tahu takdir pahit yang
harus ia temui. Saat sakit Mustafa mulai ragu dan menyalahkan Nina dan
menyesal harus kawin dengan Nina dan Mustafa dalam kesakitannya mulai
yakin bahwa Nina memang si pemakan suami, istilah orang kampung bagi
janda yang ditinggalkan suami mati apalagi sampai tujuh kali.
Nina
mulai sadar bahwa ini bukan hanya kebetulan tetapi takdir yang
diturunkan, Neneknya juga demikian, kendatipun tidak sampai tujuh, lima
suami neneknya juga mati, beda dengan Nina, sang Nenek dikarunia banyak
ada dari lima suaminya, dan nenek mengalami kematian kelima suaminya
dalam usia 55 tahun, sementara Nina 30 tahun, satu anak dengan tujuh
suami yang semuanya sudah terbaring kaku di kubur.
Saat suami
ketiganya meninggal, Nina sudah mulai merasakan takdir yang aneh ini,
setiap shalat ia selalu berdoa agar Allah menjauhkan dugaan takdir yang
ada di hatinya. Nina berusaha keras untuk tidak menyakini takdir tadi,
namun gunjingan tetangga sudah mulai terdengar bahwa ia adalah pemakan
suami.
Sejak itu, Nina berkelana dari satu kota ke lain kota
dengan satu suami untuk satu kota yang berakhir dengan kematian.
Menghindari dari gunjingan tetangga dan menghapus masa lalu itu tidak
mampu mengaburkan alamatnya dari takdir, dunia ini sangat sempit, takdir
sangat luas, mengintip bahkan hati manusia itu sendiri.
Nina juga
pernah mengemukakan masalah nasibnya sebagai pemakan suami ini kepada
Nek Manyak yang dikenal sangat paham dengan tajul muluk. Nek Manyak baru
sekali ini menemukan kasus seperti ini, namun ia sudah mendengar
kasus-kasus zaman dulu dan semuanya tidak ada jalan keluarnya.
Lelaki
yang biasa akan jadi suami dari perempuan si pemakan suami, biasanya
terbius dengan kecantikan dan kemolek si perempuan. Lelaki yang ambisius
ini akan mengenyampingkan semua takdir yang mereka ketahui dari si
perempuan. Namun Nek Manyak tidak habis akal, dengan kemampuan setingkat
pakar hukum, ia melakukan metode analogi hukum, tetapi dalam kasus ini,
analogi pemahaman hukum takdir.
“Nenek tidak menemukan jalan
keluar atas kasusmu, tetapi ada satu jalan yang masih kamu ingat dalam
kasus anak kembar atau suami-istri yang selalu melahirkan anak tetapi
meninggal,” ujar Nek Manyak kepada Nina saat ia minta nasihat akan nasib
Mustafa yang tidak sabar ingin kawin dengan dirinya.
Nek Manyak
menceritakan kepada Nina bahwa banyak jenis takdir yang disambangi
dengan pemahaman logika manusia sesuai dengan tradisi. Misalnya jika ada
anak lelaki yang sangat mirip dengan ayahnya atau anak perempuan yang
sangat mirip dengan ibunya, maka ada kenyakinan di tengah masyarakat dan
mereka menemukan banyak kasus dalam kenyataannya, salah satunya akan
meninggal muda, sebab tidak boleh ada kesamaan, bintang tidak boleh ada
dua dalam satu keluarga.
Biasanya, kemiripan ini akan dilakukan
dengan cara “menjual” secara simbolik, biasanya sangat anak atau salah
satu anak kembar kepada keluarga lain, sehingga mereka seolah-olah
tercatat kepada keluarga baru yang sudah membelinya, misalnya dengan
beras, walaupun secara fisik sangat anak masih tinggal bersama dengan
keluarganya. Bahkan dalam banyak kasus anak kembar akan dipisah secara
fisik untuk menghindari takdir agar tidak mati muda salah satunya.
“Mungkin
suamimu dapat kita jual kepada perempuan lain sebagai simbolis
seolah-olah dia bukan lagi suaminya, walaupun secara fisik ia tinggal
bersamamu,” ujar Nek Manyak.
Tanpa pikir panjang, Nina setuju
dengan ide tersebut, sebuah analogi yang mungkin akan berjalan di alam
sana. Keputusan ini ia sampaikan kepada Mustafa dan Mustafa tidak
keberatan karena ia tidak percaya dengan takdir “makan suami” itu, yang
penting Mustafa ingin segera membina rumah tangga dengan Nina.
Kendatipun Bujang, Mustafa tidak ingin pesta perkawinan, dalam hati
kecilnya ia juga malu harus mengawini janda, tetapi cinta memang buta.
Masalah
timbul kemudian, kepada siapa Mustafa akan “dijual” Nek Manyak yang
sudah janda itu menawarkan dirinya sebagai “istri” yang akan membeli
itu. Namun takdir sulit diduga, Mustafa sudah terbaring kaku, didekap
erat takdir Nina sebagai pemakan suami. Kini Nina pindah kota lagi,
berketetapan hati untuk menjanda dalam usia yang relatif muda, dengan
sisa uang dari penjualan tanah petak kecil Mustafa, Nina dengan putrinya
tinggal di Kota lain yang seorangpun tak tahu siapa ia.
Nina
mencari rumah kontrakkan dan ia mendapatkan rumah sewa Haji Bandum, saat
mengetahui Nina seorang janda satu anak yang perlu dikasihani, Haji
Bandum pun merasa terpanggil dan perkenalan mereka selama tiga bulan
telah membulatkan tekad dan Nina untuk membina rumah tangga, sekali ini
Nina mantap dan tak perlu lagi pendapat Nek Manyak, sebab Haji Bandum
pun sudah menikah enam kali dan semua istrinya mati dalam ikatan
perkawinan dengan dirinya. Satu kebetulan takdir, entah siapa yang akan
makan siapa, tetapi mereka sudah mengerti dengan takdir ini, kesamaan
takdir akan mendudukan mereka sederajat dan mungkin akan menguatkan
mereka.
Di hari perkawinan Haji Bandum dengan Nina semua takdir
saling melihat dan menyapa untuk berdamai, damai untuk ketentraman Haji
Bandum dan Nina yang sudah lelah menangis dan sedih kehilangan pasangan
yang dicintai, di hari perkawinan itu, langitpun tersenyum dan anak
tunggal Nina berharap tidak menjadi yatim untuk kedelapan kalinya.
(peminat pemerintahan, sosial dan budaya, tinggal di Meulaboh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar